Senin, 18 Juni 2018

10 Pesepakbola Terhebat yang Tidak Pernah Bermain di Piala Dunia

Tak semua pemain yang bisa dikenal sebagai legenda di level klub bermain di ajang terbesar, Piala Dunia. Inilah 10 pemain terhebat yang tak pernah bermain di ajang empat tahunan tersebut...

Piala Dunia disebut sebagai turnamen sepakbola terbesar dan tertinggi di dunia karena skala turnamen ini yang melibatkan negara-negara dari lima benua besar. Sayangnya, skala tersebut menimbulkan sedikit 'problema'. Para pesepakbola hebat yang tidak cukup beruntung memiliki rekan-rekan senegara yang menyamai kualitas mereka sehingga harus melewatkan ajang ini karena ketidakberdayaan mereka mengangkat prestasi negara sendirian. Jadi, sehebat apapun prestasi yang menyertai mereka di level klub, Piala Dunia memang tidak atau belum tercipta untuk mereka.
Dengan Piala Dunia 2018 di Rusia tinggal berjarak sekitar dua pekan lagi dari pelaksanaan, berikut adalah 10 pesepakbola yang kehebatannya tidak atau belum pernah dipamerkan di ajang empat tahunan ini.

1) Alfredo Di Stefano 

Ya, memenangi trofi bergengsi Piala Champions sebanyak lima kali bersama Real Madrid ternyata bukanlah sebuah jaminan bagi Alfredo Di Stefano untuk mencicipi Piala Dunia. Dalam kasusnya bisa dikatakan kualitas rekan-rekan senegaranya bukanlah faktor utama kenapa dia tidak pernah bisa pergi ke Piala Dunia, namun turnamen itu sendiri seperti menghindar dari jangkauan Di Stefano.
Legenda El Real itu sejatinya memiliki tiga kewarganegaraan sepanjang menjalani karier sebagai pesepakbola. Pada 1950, dia adalah penggawa tim nasional Argentina yang memilih untuk absen dalam turnamen empat tahunan tersebut. Bermain untuk Kolombia pada 1954 ternyata tidak juga mengubah nasibnya, FIFA memutuskan negara tersebut tidak memenuhi syarat untuk mengikuti turnamen yang mereka kelola.
Spanyol adalah negara ketiga yang diperkuat Di Stefano dalam kariernya, tapi pada 1958 Negeri Matador gagal lolos, sementara ketika negaranya berhasil lolos empat tahun berselang dia malah harus absen karena cedera. 

2) George Best
Pesepakbola tampan nan flamboyan yang namanya begitu dipuja oleh pendukung Manchester United hingga hari ini tidak pernah tampil di Piala Dunia karena dia adalah bintang Irlandia Utara yang melesat sendirian di era 1960an hingga 1970an. George Best menjadi tokoh sentral ketika Setan Merah meraih trofi tertinggi Eropa pertama mereka pada 1968 dan sudah dipercaya sebagai sosok yang jenius oleh seorang pencari bakat United ketika usianya masih berusia 15 tahun.
Membukukan 37 penampilan untuk Irlandia Utara sepanjang aktif sebagai pesepakbola, Best bisa dikata sedikit tidak beruntung karena lahir terlalu cepat sebelum Irlandia Utara lolos ke Piala Dunia pada 1984, ketika usianya sudah menginjak 36 tahun dan tidak lagi dalam performa terbaiknya. Andai dia terlahir pada 1956 dan bukannya 1946

3) Bernd Schuster
Pria asal Jerman ini memiliki karier di level klub yang agak sedikit susah dipercaya mengingat dia memperkuat tiga klub asal Spanyol yang saling membenci satu sama lain; Barcelona, Real Madrid, dan Atletico Madrid. Hebatnya lagi, dia selalu mampu mempersembahkan trofi di ketiga klubnya itu dan menjadi pemain penting. Namun, seluruh karier eks pelatih Malaga sebagai pesepakbola ini memang kerap diwarnai kontroversi.
Prestasi Schuster juga berlanjut ketika membela Jerman. Dia adalah salah satu anggota skuat Der Panser yang menjuarai Piala Eropa edisi 1982 dan menjadi pemain terbaik kedua turnamen di belakang rekan senegaranya yang legendaris, Karl-Heinz Rumminigge. Namun rupanya ini menjadi turnamen internasional terakhir Schuster bersama Jerman.

Schuster berselisih dengan pihak Federasi Sepakbola Jerman, pelatih, dan rekan senegaranya karena klubnya saat itu, Barcelona, tidak mencapai kesepakatan mengenai keikutsertaan Schuster dalam sebuah laga persahabatan kontra Brasil. Schuster pun memilih untuk pensiun dari timnas di usia yang baru menginjak 24 tahun.

4) Ryan Giggs

Apa yang bisa dikatakan lagi mengenai kontribusi pria asal Wales ini untuk satu-satunya klub yang ia bela sepanjang kariernya, Manchester United? Andai dia tidak lahir satu generasi dengan David Beckham, mungkin dia benar-benar akan mendapatkan pengakuan yang jauh lebih layak. Becks memang kelewat menyedot perhatian di eranya bersama United.
Giggs mempersembahkan dua trofi Liga Champions dan 13 titel Premier League dengan kontribusi besar dari sayap kiri dalam 963 penampilan bersama Setan Merah, sebuah jumlah penampilan yang sepertinya belum akan dilampaui dalam waktu dekat oleh pemain United manapun saat ini.
Mewakili Wales, Giggs menjalani debutnya pada 1991 dan memilih pensiun pada 2007, sebuah keputusan yang diakuinya dilakukan demi memperpanjang usia karier sepakbolanya. Selama 16 tahun mewakili Wales, Giggs tak sekali pun membawa negaranya lolos ke Piala Dunia. Sepertinya itu tugas yang terlalu berat untuk dipikulnya sendirian.

5) George Weah

Serie A adalah panggung sepakbola terbaik pada 1990an dan kedigdayaan kompetisi tersebut salah satunya terwakili dengan sempurna oleh nama George Weah yang terpilih sebagai Pemain Terbaik FIFA edisi 1995 setelah kesuksesannya bersama AC Milan.
Striker kelahiran 1 Oktober 1951 itu juga dikenang dengan salah satu insidennya dengan bek Porto, Jorge Costa pada November 1996. Weah diketaui meninju wajah pemain asal Portugal tersebut karena, menurut pengakuannya, melont ejekan rasis kepada dirinya. Tuduhan Weah tidak terbukti, bahkan tak satu pun rekannya di Milan yang mengakui mendengar ejekan yang dituduhkan Weah kepada Costa.

Pria yang sekarang aktif di dunia politik ini akhirnya meminta maaf kepada lawannya itu, namun permintaan maafnya ditolak karena Costa merasa sudah tercemari nama baiknya dan Weah sendiri mendapatkan skorsing enam laga oleh UEFA. Konyolnya, Weah masih menerima penghargaan Fair Play Award di tahun tersebut.
Weah sendiri terlalu menonjol untuk ukuran negaranya, Liberia, yang memang tidak pernah berhasil lolos ke Piala Dunia.

6) Eric Cantona


Jika Anda saat ini berusia 30 tahun ke atas, pada pertengahan 1990an Anda pasti sudah cukup matang untuk mengetahui sebuah tren tengah berkembang di kalangan suporter Manchester United. Banyak di antara mereka memilih untuk tidak melipat kerah baju atau seragam yang mereka kenakan saat santai atau ketika sedang bersekolah. Tren itu lahir karena Eric Cantona, maestro Setan Merah di era tersebut.
Pria Prancis itu memiliki pengaruh yang begitu besar hingga banyak yang bersedia mengikuti gayanya tersebut dan insiden tendangan kung fu ke suporter Crystal Palace akan selalu menjadi bahan pembicaraan yang tidak pernah basi untuk dibahas.
Sayangnya, insiden itu bisa dikatakan menghabisi peluang Cantona untuk mencicipi Piala Dunia. Skorsing yang dijatuhkan kepada Cantona untuk insiden yang terjadi pada Januari 1995 tersebut juga termasuk larangan bermain di level internasional. Timnas Prancis yang tengah membangun kembali kekuatan mereka di bawah kepelatihan Aime Jacquet mulai menyandarkan kekuatan tim pada pemain-pemain baru seperti Zinedine Zidane dalam persiapan menuju Euro 1996.
Jacquet sendiri sebenarnya menunjuk Cantona sebagai kapten, namun ketika sang striker mendapatkan skorsing, di saat bersamaan Jacquet justru menemukan formula tim yang lebih pas tanpa kehadiran Cantona. Jadi ketika Prancis berhasil mengangkat trofi pada 1998 di negeri mereka sendiri, Cantona tidak berada di sana.

7) Ian Rush

Menjadi top skorer Liverpool sepanjang masa dan bermain di periode terbaik klub adalah sebuah pencapaian yang sulit ditandingi. Ian Rush memang cukup hebat untuk bisa melakukan kedua hal itu bersama Liverpool, tapi – sama halnya dengan Ryan Gigs – terlalu sulit baginya untuk mengangkat prestasi tim nasional Wales sendirian.
Rush sudah melakukan debutnya untuk Wales pada 21 Mei 1980, tujuh bulan sebelum ia menjalani debutnya untuk Liverpool. Rush memperkuat timnas Wales sampai 1996. Dalam 15 tahun karirnya sebagai pemain timnas Wales, Rush sudah mencetak 28 gol dan 73 penampilan. Salah satu pencapaian terbaiknya adalah ketika ia mencetak hat-trick ke gawang Kepulauan Faroe dalam kemenangan 6-0 pada 9 Oktober 1992 di laga Kualifikasi Piala Dunia 1994.


8) Valentino Mazzola 

Andai tragedi Superga tak pernah terjadi, Juventus mungkin bukan satu-satunya klub yang berjaya dari Turin saat ini. Tragedi yang terjadi pada 4 Mei 1949 itu menghabisi generasi terbaik Torino, termasuk Valentino Mazzola yang menjuarai Liga Italia lima musim beruntun.

Torino sulit pulih dari tragedi tersebut dan kisah kesuksesan mereka terputus karena maut di Superga. Begitu besarnya dampak yang ditimbulkan traedi tersebut, setahun berselang skuat timnas Italia bahkan memilih untuk naik kapal saat mengikuti turnamen Piala Dunia di Brasil.
Mazzola sendiri adalah kapten tim saat itu dan ikon klub yang begitu dipuja para penggemar Torino. Ia diakui sebagai salah satu pemain terbaik dunia di masanya berkat performa menawannya di lini tengah. Mazzola juga terkenal dengan aksi mengangkat lengan kausnya ketika dia merasa timnya tidak bermain dengan baik di atas lapangan. Sebuah kepemimpinan yang begitu kharismatik dalam aksi simbolik.

9) Matt Le Tissier

Matthew Le Tissier pada era 1990an adalah salah satu pemain terbaik di Inggris yang sayangnya hanya bermain untuk klub menengah seperti Southampton. Dia menjadi gelandang pertama yang berhasil mencetak 100 gol di Premier League dengan permainan kreatif yang sangat mengesankan, sebuah pencapaian yang menjelaskan mengapa ia layak masuk daftar ini meski tak banyak menuai kesuksesan di level klub.
Glenn Hoddle, pelatih tim nasional Inggris dalam Piala Dunia 1998 mungkin lebih layak disalahkan dalam hal ini. Performa menawan Le Tisser tak cukup mengesankan bagi Hoddle untuk membawanya ke Prancis, tempat turnamen empat tahunan itu digelar pada 1998. Sang pemain akhirnya memutuskan untuk rehat sementara dari sepakbola internasional, keputusan yang tak pernah dikoreksinya lagi sampai akhir masa bermainnya pada 2003.


10) Gareth Bale



Mungkin dia akan mengikuti jejak Di Stefano yang begitu sukses bersama Real Madrid, dengan lebih dari dua medali Liga Champons di tangan mereka, namun tak pernah berangkat ke Piala Dunia.
Bale menjadi salah satu sosok penting dalam kesuksesan El Real meraih tiga trofi Kuping Besar dalam empat tahun terakhir yang sayangnya tak bisa dilanjutkannya bersama timnas Wales, meski negara tersebut kini memiliki generasi yang jauh lebih baik.
Wales menjadi salah satu kandidat kuat untuk lolos ke Piala Dunia 2018 dari zona Eropa setelah mereka tampil dengan luar biasa di ajang Piala Eropa 2016 lalu dengan menembus babak semifinal. Tapi, kekalahan atas Irlandia di partai terakhir kualifikasi pada Oktober lalu memupus asa Bale untuk tampil di Rusia. Dengan usia yang sudah menginjak 28 tahun dan kondisi fisik yang semakin rentan cedera, rasa-rasanya bakal sulit bagi Bale untuk tampil di Qatar 2022 sekalipun Wales nantinya lolos ke sana.

Klik langganan agar mendapat update berita terbaru. thanks

Apa Komentarmu